Lamaran
Jingga (3)
Written
by Indri Permana
Dahi Jingga berkerut
membaca sms tersebut, ternyata itu dari Aris. Ia berpikir sejenak, kok bisa ya Aris tahu nomor hp aku? Oh,
mungkin ia lupa bahwa Aris kan temannya bang Isal. Dia membaca sms itu untuk kedua
kalinya. Sms pertama dikirim tadi malam, sedangkan sms kedua barusaja sampai.
Tunggu! Isi sms kedua ini sangat-sangat membuatnya terkejut. Aris membangunkan
Jingga untuk menyuruhnya melaksanakan qiyamul
lail. It's s so strange!
Namun entah kenapa, rasanya
jantung Jingga seolah-olah tercabut. Tak pernah ada orang yang membangunkannya
untuk melaksanakan shalat malam, kecuali mendiang ibunya. Dan sekarang Aris. Ada apa ini? Mengapa harus Aris? Tanpa
berpikir panjang lagi dia bangkit menuju kamar mandi lalu mengambil air wudhu.
Setelah melaksanakan
shalat malam, Jingga tak kembali tidur. Dia memutuskan untuk menyelesaikan
naskah-naskah dongengnya yang sebentar lagi harus dikirimkan ke redaksi. Alasan
ia memilih bergabung menjadi penulis di redaksi majalah tersebut bukan semata
ia butuh uang. Hanya saja ia sangat menyukai anak-anak. Mereka polos,
penyayang, dan mudah sekali memaafkan. Anak-anak bisa langsung kembali
tersenyum dan bermain dengan bahagianya, padahal pada saat sebelumnya mereka
saling menyakiti dan berebut mainan. Andai Jingga seperti itu, mungkin ia tak
perlu lama-lama lagi menyimpan dan menutup-nutupi luka yang selama ini dia
sembuhkan sendiri.
Ketika adzan subuh
terdengar, naskah Jingga sudah selesai semua. Kemudian ia beranjak menunaikan
kewajibannya menghadap Allah swt.. seperti biasa, sehabis shalat ia menjalankan
rutinitasnya. Setiap hari rutinitas yang ia jalankan sebelum berangkat mengajar
selalu sama. Pertama, ia harus membereskan rumah; kedua, ia membuat sarapan
atau bekal makan untuk dirinya sendiri; ketiga dan yang terakhir, menyiapkan
secangkir teh hangat untuk ia nikmati sambil menonton acara berita pagi di
televisi.
***
Selesai menonton acara
berita, Jingga segera bersiap-siap menuju garasi. Namun yang terjadi adalah
motor kesayangannya pecah ban! Kok bisa? Kenapa gak di cek dari kemarin ya? Ia
menggerutu sendiri dalam hati. Padahal hari ini selain mengajar di sekolah, ia
juga harus mengantarkan naskah ke redaksi dan mengirim salinannya untuk Zinan
dan Zandra. Akhirnya, dengan terpaksa hari ini ia harus pergi ke rumah bang
Isal menggunakan taksi dan meminjam kendaraannya.
Sampai di rumah bang
Isal, Jingga mendapati ada motor terpakir di halaman rumah. Tanpa
menghiraukannya, ia memasuki rumah. “Assalamu’alaikum bang! Kak Amel!” sahutnya
dari depan rumah. Karena tak ada jawaban, akhirnya ia memutuskan untuk masuk
rumah dan ketika di ruang tamu ia berpapasan dengan Aris.
“Eh, dek Jingga,” sapa
Aris dengan sunggingan manis bibirnya yang begitu memikat. “Kok pagi-pagi udah
ada disini kak? Bang Isal mana?” Tanya Jingga. “ini dek cuma ada urusan aja
sebentar,” jawabnya, “bang Isal lagi bantuin mandiin si kembar sama Amel.” Aris
mengendikkan dagu ke belakang “oh gitu,” gumannya. Kemudian ia mengeluarkan
notes dan bundel naskah salinannya. Ia menulis sesuatu di sana. Aris tersenyum
melihat tingkahnya, lalu melangkah ke ambang pintu sebentar, “kamu gak bawa
motor? Aku anterin yuk!” Jingga yang sedang menulis tak mendengar suara Aris,
kemudian dengan jailnya Aris sengaja mendekat ke belakang tubuhnya dan berbisik
tepat di depan telinga Jingga dengan lembut, “dek, ayo kakak anterin.” Otomatis
naskah salinan yang sedang menjadi alasnya menulis jatuh dan membuatnya salah
tingkah.
Sebelum Jingga sempat
bereaksi apapun, bang Isal datang menemuinya. Untung saja bang Isal datang,
kalau tidak ia tak menjamin dirinya bakal selamat dari salah tingkah lebih
lama. Bang Isal bercakap-cakap sebentar dengan Aris, kemudian ia menghampiri
adiknya. “Kamu bakal dianterin ke sekolah sama Aris, dia baik kok, gak bakalan
gigit,” bang Isal tersenyum jail dan mengedipkan mata, ternyata dia tahu
kedatangan Jingga ke rumahnya selain untuk memberikan salinan naskah dongeng
juga akan meminjam kendaraannya. Jingga terkesiap, apa-apaan ini? Tapi pagi ini lewat dengan begitu cepat. Kalau saja
hari ini ia tak takut kesiangan, kalau saja hari ini motornya tidak pecah ban,
kalau saja Aris bukan orang yang kenal baik dengan bang Isal. Ia tak mau dengan
seenaknya diantarkan ke tempatnya mengajar. Dahi Jingga berkerut tajam,
sampai-sampai kedua ujung alisnya hampir bertemu. Nampaknya, pagi itu hanya
Aris yang nyegir kegirangan.*to be
continued*
Alhamdulillah akhirnya bagian ketiga ini dipublish juga 😊😊 tetap terus ikuti ya kelanjutannya my beloved readers 😘 tiap bagian akan dipublish setiap 4-5 hari sekali hehe semoga tetap menghibur dan salam literasi 😊 wassalamu'alaikum
Alhamdulillah akhirnya bagian ketiga ini dipublish juga 😊😊 tetap terus ikuti ya kelanjutannya my beloved readers 😘 tiap bagian akan dipublish setiap 4-5 hari sekali hehe semoga tetap menghibur dan salam literasi 😊 wassalamu'alaikum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar