Minggu, 17 Juli 2016

Cerbung: Lamaran Jingga

Lamaran Jingga (3)
Written by Indri Permana


Dahi Jingga berkerut membaca sms tersebut, ternyata itu dari Aris. Ia berpikir sejenak, kok bisa ya Aris tahu nomor hp aku? Oh, mungkin ia lupa bahwa Aris kan temannya bang Isal. Dia membaca sms itu untuk kedua kalinya. Sms pertama dikirim tadi malam, sedangkan sms kedua barusaja sampai. Tunggu! Isi sms kedua ini sangat-sangat membuatnya terkejut. Aris membangunkan Jingga untuk menyuruhnya melaksanakan qiyamul lail. It's s so strange!
Namun entah kenapa, rasanya jantung Jingga seolah-olah tercabut. Tak pernah ada orang yang membangunkannya untuk melaksanakan shalat malam, kecuali mendiang ibunya. Dan sekarang  Aris. Ada apa ini? Mengapa harus Aris? Tanpa berpikir panjang lagi dia bangkit menuju kamar mandi lalu mengambil air wudhu.
Setelah melaksanakan shalat malam, Jingga tak kembali tidur. Dia memutuskan untuk menyelesaikan naskah-naskah dongengnya yang sebentar lagi harus dikirimkan ke redaksi. Alasan ia memilih bergabung menjadi penulis di redaksi majalah tersebut bukan semata ia butuh uang. Hanya saja ia sangat menyukai anak-anak. Mereka polos, penyayang, dan mudah sekali memaafkan. Anak-anak bisa langsung kembali tersenyum dan bermain dengan bahagianya, padahal pada saat sebelumnya mereka saling menyakiti dan berebut mainan. Andai Jingga seperti itu, mungkin ia tak perlu lama-lama lagi menyimpan dan menutup-nutupi luka yang selama ini dia sembuhkan sendiri.
Ketika adzan subuh terdengar, naskah Jingga sudah selesai semua. Kemudian ia beranjak menunaikan kewajibannya menghadap Allah swt.. seperti biasa, sehabis shalat ia menjalankan rutinitasnya. Setiap hari rutinitas yang ia jalankan sebelum berangkat mengajar selalu sama. Pertama, ia harus membereskan rumah; kedua, ia membuat sarapan atau bekal makan untuk dirinya sendiri; ketiga dan yang terakhir, menyiapkan secangkir teh hangat untuk ia nikmati sambil menonton acara berita pagi di televisi.
***
Selesai menonton acara berita, Jingga segera bersiap-siap menuju garasi. Namun yang terjadi adalah motor kesayangannya pecah ban! Kok bisa? Kenapa gak di cek dari kemarin ya? Ia menggerutu sendiri dalam hati. Padahal hari ini selain mengajar di sekolah, ia juga harus mengantarkan naskah ke redaksi dan mengirim salinannya untuk Zinan dan Zandra. Akhirnya, dengan terpaksa hari ini ia harus pergi ke rumah bang Isal menggunakan taksi dan meminjam kendaraannya.
Sampai di rumah bang Isal, Jingga mendapati ada motor terpakir di halaman rumah. Tanpa menghiraukannya, ia memasuki rumah. “Assalamu’alaikum bang! Kak Amel!” sahutnya dari depan rumah. Karena tak ada jawaban, akhirnya ia memutuskan untuk masuk rumah dan ketika di ruang tamu ia berpapasan dengan Aris.
“Eh, dek Jingga,” sapa Aris dengan sunggingan manis bibirnya yang begitu memikat. “Kok pagi-pagi udah ada disini kak? Bang Isal mana?” Tanya Jingga. “ini dek cuma ada urusan aja sebentar,” jawabnya, “bang Isal lagi bantuin mandiin si kembar sama Amel.” Aris mengendikkan dagu ke belakang “oh gitu,” gumannya. Kemudian ia mengeluarkan notes dan bundel naskah salinannya. Ia menulis sesuatu di sana. Aris tersenyum melihat tingkahnya, lalu melangkah ke ambang pintu sebentar, “kamu gak bawa motor? Aku anterin yuk!” Jingga yang sedang menulis tak mendengar suara Aris, kemudian dengan jailnya Aris sengaja mendekat ke belakang tubuhnya dan berbisik tepat di depan telinga Jingga dengan lembut, “dek, ayo kakak anterin.” Otomatis naskah salinan yang sedang menjadi alasnya menulis jatuh dan membuatnya salah tingkah.

Sebelum Jingga sempat bereaksi apapun, bang Isal datang menemuinya. Untung saja bang Isal datang, kalau tidak ia tak menjamin dirinya bakal selamat dari salah tingkah lebih lama. Bang Isal bercakap-cakap sebentar dengan Aris, kemudian ia menghampiri adiknya. “Kamu bakal dianterin ke sekolah sama Aris, dia baik kok, gak bakalan gigit,” bang Isal tersenyum jail dan mengedipkan mata, ternyata dia tahu kedatangan Jingga ke rumahnya selain untuk memberikan salinan naskah dongeng juga akan meminjam kendaraannya. Jingga terkesiap, apa-apaan ini? Tapi pagi ini lewat dengan begitu cepat. Kalau saja hari ini ia tak takut kesiangan, kalau saja hari ini motornya tidak pecah ban, kalau saja Aris bukan orang yang kenal baik dengan bang Isal. Ia tak mau dengan seenaknya diantarkan ke tempatnya mengajar. Dahi Jingga berkerut tajam, sampai-sampai kedua ujung alisnya hampir bertemu. Nampaknya, pagi itu hanya Aris yang nyegir kegirangan.*to be continued*

Alhamdulillah akhirnya bagian ketiga ini dipublish juga 😊😊 tetap terus ikuti ya kelanjutannya my beloved readers 😘 tiap bagian akan dipublish setiap 4-5 hari sekali hehe semoga tetap menghibur dan salam literasi 😊 wassalamu'alaikum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar