Lamaran
Jingga (2)
Written
by Indri Permana
Tak terasa, sudah lebih
dari tiga jam sejak kepergian Amara. Namun, Jingga tak kunjung menyelesaikan
tulisannya satupun. Tak dipungkiri ia masih manusia yang bisa galau. Karena
begitu suntuk, tanpa pikir panjang dia pun memutuskan pulang atau setidaknya
pergi kemana saja yang akan membuat pikiran dan hatinya normal kembali.
Saat pulang, Jingga tak
langsung berniat pulang ke rumah. Karena kangen dengan sepupu kembarnya,
akhirnya ia memutuskan untuk berkunjung ke rumah bang Isal. Satu-satunya saudara
kandung yang ia miliki. Selain kakak, bang Isal juga kerap kali mengambil peran
sebagai sahabat baginya. Karena sejak kepergian ibunda tercinta, bang Isal
menjadi salah satu orang yang dapat menampung semua luapan emosi di hatinya.
***
“Zinan….. ada tante
nihh!” seru bang Isal memanggil salah satu anak kembarnya. Jingga yang saat itu
masih berada di halaman depan hanya tersenyum. Betapa ia rindu pelukan
tangan-tangan kecil keponakannya. Celoteh Zinan yang sangat lucu, maupun
tatapan dan wajah tampan Zandra pasangan kembar Zinan. Mereka benar-benar satu
paket pas yang menjadi obat penghilang segala gundah.
Zinan menyambut Jingga
dengan pelukan dan ciuman yang bertubi-tubi. Sampai-sampai ia geli sendiri dan
mencubit lembut kedua pipi bakpaunya Zinan. Kapan
ya aku punya anak kayak gini? Itu pikiran Jingga, kalau lagi bareng sama
ponakannya. Namun, tak berselang lama terdengar suara tangis Zandra di ruang
keluarga. Jingga buru-buru mengecek keadaannya disana.
“Nak, sayang….. udah
jangan nangis yah!” kak Amel menenangkan Zandra dengan susah payah. Namun, yang
terjadi malah ia menjerit-jerit histeris dan terus memukul-mukulkan tangannya
ke lantai. Tangisnya kian membumi. “Zandra sayang, ini ada tante,” sahut Jingga
sambil mendekatinya. Keponakannya yang sedang kalut itu menoleh sedikit,
kemudian kembali menangis dengan keras. “dek, awas jangan terlalu dekat! Tadi dia
mecahin gelas, pas ketahuan sama kakak dia jadi gini,” terang kak Amel. “biar
kakak beresin gelasnya dulu, kamu buat dia tenang ya dek.” yang disuruh hanya
mengangguk dan beralih mendekatinya.
Beberapa saat kemudian
Jingga berjongkok disamping Zandra lalu mengeluarkan cokelat berbentuk teddy
bear dalam tasnya. “Zandra sayang, liat dong tante bawa apa?” serunya sambil
mengacungkan cokelat,“sini tangannya tante pinjem,” ia meraih tangan keponakannya
yang sedang histeris menangis dan menyerahkan cokelat itu di kedua tangannya.
Perlahan-lahan, kemarahan dan tangis yang dari tadi terdengar mulai reda. Susah
payah dia menenangkan keponakannya. Akan tetapi, sesusah apapun, bukan Jingga
namanya kalau ia menyerah. Dan sekarang, ia sedang berada di kamar Zandra, ia
berhasil menenangkannya sampai terlelap tidur. Mungkin ia lelah juga, terlalu
lama menghabiskan banyak tenaga hanya untuk menangis. Jingga yang menunggui
keponakannya tidur dari tadi mulai bosan dan merangkak keluar dari kamar dengan
hati-hati, takut membangunkan keponakannya yang terlelap kelelahan.
“Keadaan Zandra memang
tak mengalami banyak perubahan,” kak Amel bercerita, “ia selalu begitu,
mengalami tantrum temper*
yang seringkali membuat kakak sama bang Isal kewalahan dek.” Hening sesaat,
Jingga menghembuskan napas panjang, ia seperti merasakan apa yang dirasakan
oleh ibu muda itu. “Zandra anak yang istimewa kak,” Jingga menenangkan kakak
iparnya, “coba beri dia stimulasi lebih banyak, seperti main musik, dengerin
dongeng, olahraga, itu kayaknya membantu deh,” sarannya, “kakak sama abang
harus terus tenang kalau menghadapi Zandra yang sedang dalam kondisi kayak
gitu,” “Aku percaya kok, Allah memberikan semua kepercayaan ini karena kakak
bisa dan mampu. Makannya Allah ngasih titipan double kayak gitu. Terlebih yang
satu sangat istimewa.”
Ketika Jingga dan kakak
iparnya sedang asyik mengobrol. Tiba-tiba ada suara deru motor di luar. Kak
Amel buru-buru mengecek. “Eh, ada si Aris!” seru kak Amel, “dek, kamu suruh
Aris masuk ya? Kakak cariin dulu bang Isal, dia tadi lagi main sama Zinan.”
Jingga hanya tersenyum dan bergegas membukakan pintu untuk tamu bang Isal. Pintu
terbuka tepat saat sang tamu akan mengetuk, sehingga tangannya mengenai kepala
Jingga.
“Aduhhh….” Pekik
Jingga. “Eh sorry… sorry…. Gue kira gak ada orang!” lelaki yang bernama Aris
itu terlihat panik. “eng… enggak kok, gak apa-apa,” refleks jingga menurunkan
tangan di dahinya, “silahkan masuk kak.” Ia mempersilahkan tamu itu masuk dan
bergegas menemui kak Amel. Namun sebelumnya, ia menawarkan minuman terlebih
dulu, “mau teh, kopi, atau apa ya kak?” “kopi tanpa gula.” Sahut Aris sambil
tersenyum manis. “serius? Nanti pait gak apa-apa?” Jingga terlihat skeptis.
“Yang pait, gak selalu gak enak dek!” tamu itu tersenyum. Tanpa sadar ia juga
ikut tersenyum mendengar ucapan Aris. Dia tak pernah tau bahwa senyum itu ternyata
bisa menular!
Saat Jingga beranjak
menuju dapur, bang Isal bergegas menemui tamunya dengan terburu-buru. Sedangkan
kak Amel, lagi asyik bermain boneka dengan si pipi bakpau, keponakannya.
***
Yang
pait, gak selalu gak enak. Tiba-tiba saja kalimat itu muncul
dalam benak Jingga. Ia baru saja akan beranjak tidur, dan tiba-tiba kalimat itu
lancar saja keluar tanpa cacat dari benaknya. Jingga tersenyum sendiri,
kejadian hari ini membuat dia lelah. Amat lelah! Sehingga, mungkin saja pikirannya
secara spontan mengingat itu agar tidurnya nyenyak. Mungkin.
Semenjak kepergian
ibunda tercinta, dia tinggal sendirian di rumah. Dan ayahnya memilih untuk
menetap di rumah nenek yang berada di desa. Rumah nenek sudah bertahun-tahun
kosong sejak kepergiaanya menghadap sang pencipta. Sehingga, bibi dan paman
Jingga pun menyambut baik keinginan ayahnya yang ingin menetap disana. Kadang
ayah datang ke kota, menjenguk Jingga dan juga cucu-cucunya. Tapi lebih sering
anak-anaknya yang mengalah menjenguk ayah di desa.
Awalnya, sebelum
kepergian ibunda Jingga. Ayah tinggal di kota. Kemudian mendirikan perusahaan
dan pabrik konveksi bersama ibu dari nol. Betapa cinta ibu menjadikan ayah
seorang lelaki yang kuat, gagah, dan hebat. Tak pernah sekalipun ayah tak
menghiraukan ibu. Ayah teramat menyayangi dan mencintainya. Mungkin inilah
alasan ayah pergi ke desa, ia hanya ingin menghabiskan sisa hidupnya mengenang
belahan jiwa tanpa diketahui anak-anaknya. Karena, ayah tidak bisa membuat
anak-anaknya sedih atas alasan atau hal apapun.
***
Getaran dan suara
bising seakan menyelimuti Jingga. Apa ini? Suara weker? Alarm adzan subuh? Atau
apa sih? Perlahan dia mengucek matanya dan dengan tangan kanan mencari asal
suara itu. Setelah ketemu, diraihnya handphone dan dimatikan. Namun, yang
terjadi ia malah mendengar suara seseorang. Seketika itu kesadarannya pulih
kembali. Dan ketika akan dijawab, sayangnya panggilan telah terputus. Namun,
dia menemukan dua sms dari nomor asing. *to
be continued*
*tantrum
temper: suatu kondisi dimana anak mengalami lonjakan rasa marah berlebihan karena
suatu sebab.
Alhamdulillah wa syukurillah :) Maaf ya
my beloved readers kalau bagian kedua ini lebih panjang ;) Semoga saja tetap
menghibur dan ikuti terus kelanjutan kisahnya ya :D komentarnya juga ditunggu
ya :* Awas cerbung ini menyebabkan baper wkwkwk :p Love you all my beloved
readers :*({}) Wassalamu’alaikum
wew alur yang bagus....
BalasHapusMakasih, ikuti terus kelanjutannya ya :)
Hapus