Rabu, 13 Juli 2016

Cerbung: Lamaran Jingga

Lamaran Jingga (2)
Written by Indri Permana


Tak terasa, sudah lebih dari tiga jam sejak kepergian Amara. Namun, Jingga tak kunjung menyelesaikan tulisannya satupun. Tak dipungkiri ia masih manusia yang bisa galau. Karena begitu suntuk, tanpa pikir panjang dia pun memutuskan pulang atau setidaknya pergi kemana saja yang akan membuat pikiran dan hatinya normal kembali.
Saat pulang, Jingga tak langsung berniat pulang ke rumah. Karena kangen dengan sepupu kembarnya, akhirnya ia memutuskan untuk berkunjung ke rumah bang Isal. Satu-satunya saudara kandung yang ia miliki. Selain kakak, bang Isal juga kerap kali mengambil peran sebagai sahabat baginya. Karena sejak kepergian ibunda tercinta, bang Isal menjadi salah satu orang yang dapat menampung semua luapan emosi di hatinya.
***
“Zinan….. ada tante nihh!” seru bang Isal memanggil salah satu anak kembarnya. Jingga yang saat itu masih berada di halaman depan hanya tersenyum. Betapa ia rindu pelukan tangan-tangan kecil keponakannya. Celoteh Zinan yang sangat lucu, maupun tatapan dan wajah tampan Zandra pasangan kembar Zinan. Mereka benar-benar satu paket pas yang menjadi obat penghilang segala gundah.
Zinan menyambut Jingga dengan pelukan dan ciuman yang bertubi-tubi. Sampai-sampai ia geli sendiri dan mencubit lembut kedua pipi bakpaunya Zinan. Kapan ya aku punya anak kayak gini? Itu pikiran Jingga, kalau lagi bareng sama ponakannya. Namun, tak berselang lama terdengar suara tangis Zandra di ruang keluarga. Jingga buru-buru mengecek keadaannya disana.
“Nak, sayang….. udah jangan nangis yah!” kak Amel menenangkan Zandra dengan susah payah. Namun, yang terjadi malah ia menjerit-jerit histeris dan terus memukul-mukulkan tangannya ke lantai. Tangisnya kian membumi. “Zandra sayang, ini ada tante,” sahut Jingga sambil mendekatinya. Keponakannya yang sedang kalut itu menoleh sedikit, kemudian kembali menangis dengan keras. “dek, awas jangan terlalu dekat! Tadi dia mecahin gelas, pas ketahuan sama kakak dia jadi gini,” terang kak Amel. “biar kakak beresin gelasnya dulu, kamu buat dia tenang ya dek.” yang disuruh hanya mengangguk dan beralih mendekatinya.
Beberapa saat kemudian Jingga berjongkok disamping Zandra lalu mengeluarkan cokelat berbentuk teddy bear dalam tasnya. “Zandra sayang, liat dong tante bawa apa?” serunya sambil mengacungkan cokelat,“sini tangannya tante pinjem,” ia meraih tangan keponakannya yang sedang histeris menangis dan menyerahkan cokelat itu di kedua tangannya. Perlahan-lahan, kemarahan dan tangis yang dari tadi terdengar mulai reda. Susah payah dia menenangkan keponakannya. Akan tetapi, sesusah apapun, bukan Jingga namanya kalau ia menyerah. Dan sekarang, ia sedang berada di kamar Zandra, ia berhasil menenangkannya sampai terlelap tidur. Mungkin ia lelah juga, terlalu lama menghabiskan banyak tenaga hanya untuk menangis. Jingga yang menunggui keponakannya tidur dari tadi mulai bosan dan merangkak keluar dari kamar dengan hati-hati, takut membangunkan keponakannya yang terlelap kelelahan.
“Keadaan Zandra memang tak mengalami banyak perubahan,” kak Amel bercerita, “ia selalu begitu, mengalami tantrum temper* yang seringkali membuat kakak sama bang Isal kewalahan dek.” Hening sesaat, Jingga menghembuskan napas panjang, ia seperti merasakan apa yang dirasakan oleh ibu muda itu. “Zandra anak yang istimewa kak,” Jingga menenangkan kakak iparnya, “coba beri dia stimulasi lebih banyak, seperti main musik, dengerin dongeng, olahraga, itu kayaknya membantu deh,” sarannya, “kakak sama abang harus terus tenang kalau menghadapi Zandra yang sedang dalam kondisi kayak gitu,” “Aku percaya kok, Allah memberikan semua kepercayaan ini karena kakak bisa dan mampu. Makannya Allah ngasih titipan double kayak gitu. Terlebih yang satu sangat istimewa.”
Ketika Jingga dan kakak iparnya sedang asyik mengobrol. Tiba-tiba ada suara deru motor di luar. Kak Amel buru-buru mengecek. “Eh, ada si Aris!” seru kak Amel, “dek, kamu suruh Aris masuk ya? Kakak cariin dulu bang Isal, dia tadi lagi main sama Zinan.” Jingga hanya tersenyum dan bergegas membukakan pintu untuk tamu bang Isal. Pintu terbuka tepat saat sang tamu akan mengetuk, sehingga tangannya mengenai kepala Jingga.
“Aduhhh….” Pekik Jingga. “Eh sorry… sorry…. Gue kira gak ada orang!” lelaki yang bernama Aris itu terlihat panik. “eng… enggak kok, gak apa-apa,” refleks jingga menurunkan tangan di dahinya, “silahkan masuk kak.” Ia mempersilahkan tamu itu masuk dan bergegas menemui kak Amel. Namun sebelumnya, ia menawarkan minuman terlebih dulu, “mau teh, kopi, atau apa ya kak?” “kopi tanpa gula.” Sahut Aris sambil tersenyum manis. “serius? Nanti pait gak apa-apa?” Jingga terlihat skeptis. “Yang pait, gak selalu gak enak dek!” tamu itu tersenyum. Tanpa sadar ia juga ikut tersenyum mendengar ucapan Aris. Dia tak pernah tau bahwa senyum itu ternyata bisa menular!
Saat Jingga beranjak menuju dapur, bang Isal bergegas menemui tamunya dengan terburu-buru. Sedangkan kak Amel, lagi asyik bermain boneka dengan si pipi bakpau, keponakannya.
***
Yang pait, gak selalu gak enak. Tiba-tiba saja kalimat itu muncul dalam benak Jingga. Ia baru saja akan beranjak tidur, dan tiba-tiba kalimat itu lancar saja keluar tanpa cacat dari benaknya. Jingga tersenyum sendiri, kejadian hari ini membuat dia lelah. Amat lelah! Sehingga, mungkin saja pikirannya secara spontan mengingat itu agar tidurnya nyenyak. Mungkin.
Semenjak kepergian ibunda tercinta, dia tinggal sendirian di rumah. Dan ayahnya memilih untuk menetap di rumah nenek yang berada di desa. Rumah nenek sudah bertahun-tahun kosong sejak kepergiaanya menghadap sang pencipta. Sehingga, bibi dan paman Jingga pun menyambut baik keinginan ayahnya yang ingin menetap disana. Kadang ayah datang ke kota, menjenguk Jingga dan juga cucu-cucunya. Tapi lebih sering anak-anaknya yang mengalah menjenguk ayah di desa.
Awalnya, sebelum kepergian ibunda Jingga. Ayah tinggal di kota. Kemudian mendirikan perusahaan dan pabrik konveksi bersama ibu dari nol. Betapa cinta ibu menjadikan ayah seorang lelaki yang kuat, gagah, dan hebat. Tak pernah sekalipun ayah tak menghiraukan ibu. Ayah teramat menyayangi dan mencintainya. Mungkin inilah alasan ayah pergi ke desa, ia hanya ingin menghabiskan sisa hidupnya mengenang belahan jiwa tanpa diketahui anak-anaknya. Karena, ayah tidak bisa membuat anak-anaknya sedih atas alasan atau hal apapun.
***
Getaran dan suara bising seakan menyelimuti Jingga. Apa ini? Suara weker? Alarm adzan subuh? Atau apa sih? Perlahan dia mengucek matanya dan dengan tangan kanan mencari asal suara itu. Setelah ketemu, diraihnya handphone dan dimatikan. Namun, yang terjadi ia malah mendengar suara seseorang. Seketika itu kesadarannya pulih kembali. Dan ketika akan dijawab, sayangnya panggilan telah terputus. Namun, dia menemukan dua sms dari nomor asing. *to be continued*

*tantrum temper: suatu kondisi dimana anak mengalami lonjakan rasa marah berlebihan karena suatu sebab.



Alhamdulillah wa syukurillah :) Maaf ya my beloved readers kalau bagian kedua ini lebih panjang ;) Semoga saja tetap menghibur dan ikuti terus kelanjutan kisahnya ya :D komentarnya juga ditunggu ya :* Awas cerbung ini menyebabkan baper wkwkwk :p Love you all my beloved readers :*({}) Wassalamu’alaikum

2 komentar: