Lamaran Jingga (1)
Written by Indri Permana
Karena memiliki hati yang sedemikian pekanya. Membuat Jingga sering kali disantroni temannya yang patah hati. Kemungkinan hanya dia satu-satunya orang yang paling mengerti dan paham bagaimana membuat orang lain tenang. Apalagi masalahnya urusan hati.
“Amara, sebaiknya kamu tenangkan pikiran dulu, jangan terlalu diingat-ingat, nanti malah jadi beban dan ngebuat kamu sakit,” saran Jingga. Mendengar saran yang diberikan, bukannya berterima kasih, tiba-tiba saja temannya yang sedang terisak itu melepaskan pelukannya dengan kasar dan berdiri, “Kamu tuh ya! Aku kesini karena banyak pikiran, dan hanya butuh teman! Kamu bisa aja ngomong kayak gitu karena kamu gak pernah sekalipun ngerasain apa yang aku rasain ga!” Jingga pun dibuat tercengang setengah mati, hatinya baru saja tertohok dengan ucapan Amara. Belum sempat ia berbicara lagi, Amara sudah pergi sambil menutup pintu ruangannya dengan kasar.
***
Tak pernah sekalipun Jingga melukai hati orang lain dengan sengaja. Dia teramat hati-hati dalam bertindak. Selain itu ia juga penyayang dan lembut. Mungkin itu pula yang mengantarkan ia menjadi seorang pendidik sekolah luar biasa. Dia tak punya keinginan yang muluk-muluk, asal bisa bermanfaat bagi orang lain, itu saja sudah cukup.
Dan asal kalian ketahui, siapa pun tak ada yang tak mengenal wanita yang biasa dipanggil bunda oleh anak didiknya ini. (Walau kenyataanya Jingga bahkan belum menikah, apalagi punya anak!) Hampir semua orang di lingkungannya mengenal Jingga karena mereka pernah dapat bantuan darinya. Mulai dari hal terkecil seperti mencarikan taksi, membuat tugas sekolah, bahkan sampai menjaga anak tetangganya pun ia pernah melakukannya.
Jingga. Nama sebuah warna yang terdiri dari merah dan kuning. Kira-kira pilosofinya seperti ini: merah untuk semangat dan kuning adalah keceriaan. Tak jauh dari itu, dia bagai malaikat yang ada setiap siapapun butuh. Pemilik tatap mata paling teduh dan senyumannya yang bagai secang jahe. Manis dan… hangat!
Gadis itu sekarang sedang terpojok pada satu ruangan kecil. Tangannya sibuk mengetik pada sebuah laptop di depan mejanya. Namun, ia tak menulis apa yang seharusnya ia tulis. Entah sadar ataupun tidak, dia masih menekan-nekankan kesepuluh jarinya, padahal laptop yang dipakainya telah mati. Baterai laptopnya habis, dan dia tak berusaha sedikitpun menyambungkan kabel charger laptopnya ke listrik. Sebentar kemudian, jari jemarinya berhenti menari-nari. Ia tutup matanya rapat-rapat, kedua tangannya terkepal gemas. Aku melangkah sejauh ini, apakah kesempatan kembali akan lebih baik daripada pergi? Pikiran itu yang dari tadi melayang-layang di benaknya membuat hatinya risau saja. Terlebih sikap dan ucapan Amara tadi seakan membuat luka lamanya kembali. Tak ada yang tahu, Jingga menyimpan masa lalu yang lebih menyakitkan. *to be continued*
Tadaaa…… Voila…… Abrakadabra….. Akhirnya satu bagian ini keluar di blog baru, Alhamdulillah ya :) Mohon maaf apabila masih banyak kekurangan dan terimakasih kepada My Beloved Readers yang sudah mau membuang kuotanya untuk membaca cerbung ini :*({}) terus ikuti kelanjutan ceritanya ya, Salam Literasi!:) Wassalamu'alaikum
keren! buat lagi donk
BalasHapusMakasih :) kelanjutannya masih dalam proses hehe
HapusAku tunggu sambungannya dri ;)
BalasHapusiya my :)
Hapus