Minggu, 31 Juli 2016

Cerbung: Lamaran Jingga

Lamaran Jingga (5)
Written by Indri Permana

“Aku pikir kamu bakalan seneng diajak kesini dek!” kata-kata Aris membuat pikirannya kembali pulih dan spontan tersenyum. “iya kak, aku seneng kok! Apalagi banyak anak-anak.” Jingga berusaha menanggapi dengan santai. Lalu apa artinya pulsa yang ia buang hanya untuk sekedar menghubungi Giana, ‘ahli fashion’ sementara yang ia booking. Memilih baju terbaik, dan berdandan serapi yang ia bisa. Memang tak apa-apa, tapi ini gila!
            Akan tetapi, apa  yang terjadi kemudian benar-benar diluar dugaan Jingga. Ternyata berada disini, tempat semua anak-anak yang telah ditinggalkan oleh orang tua secara sesungguhnya maupun tidak, benar-benar tak terduga. Ia disini bisa merasakan bahagia, haru, dan sedih secara bersamaan. Ia merasakan hal yang lebih baik dari hanya sekedar dinner di restorant mewah dengan hidangan yang super wahh. Berbagi dengan mereka dalam bentuk materi maupun bukan, benar-benar menyenangkan! Jiwa sekaligus batinnya kini terasa penuh dengan rasa yang tidak bisa dijelaskan.
            “Awalnya aku gak yakin lho mau ngajakin kamu kesini,” Aris berbicara dengan hati-hati sambil menyendokkan es krim ke mulutnya. “Awalnya aku juga yakin bakal diajakkin ke tempat yang lebih baik dari ini,” sahut Jingga, “tapi ini indah! Tak ada senyum dan tawa yang tulusnya sampai merasuk kehati gini. Aku jatuh cinta sama tempat ini kak,” lanjutnya sambil tersenyum lebar matanya berbinar bahagia. Aris tertawa keras sambil memegang perutnya dan baru berhenti setelah melihat ekspresi Jingga yang kesal, “Aku juga jatuh cinta sama tempat ini.” Jatuh cinta sama kamu juga dek! Tambahnya dalam hati.
            Menikmati udara malam yang cerah seperti ini, dengan satu pot es krim rasa vanilla cookies berdua, antara Jingga dan Aris. Tapi, yang mereka ciptakan hanya keheningan yang dibumbui dengan desau angin dan suara malam lainnya. Aris tiba-tiba teringat dengan apa yang ingin ia katakan kepada Jingga. Sebelum semuanya terlambat, sebelum ini akan menjadi itu, dan sebelum moment seperti ini berakhir. Ia akan mengatakan apapun yang ada di hatinya.
            “Dek, aku gak bisa kalau harus basa-basi,” kemudian Aris menarik napas dan menghembuskannya “aku suka kamu dek, dari dulu! Dari pas zaman aku SMA, aku udah suka sama kamu.” Kata Aris dengan tenang. Orang yang dituju malah diam saja, dia tak bergeming. “Es krim ini buat aku aja kak!” sahut Jingga, pura-pura tak mendengar perkataan Aris. Karena gemas, Aris merebut pot es krim dari tangannya dengan paksa. “Kamu harus mau jadi pacar aku dek!” ucapnya setengah memaksa, “Jawab sekarang, karena aku gak bisa nunggu!” Aris mempertegas ucapannya.
            Lama sekali Jingga terdiam. Ia dengan susah payah menguatkan hatinya sendiri. Meyakinkan diri untuk mengatakan apa yang harus ia katakan sekarang. “Aku gak bisa!” ucapnya lirih. “Aku gak bisa bertahan dengan hubungan yang seperti itu, yang hanya akan membuat aku terluka berkali-kali tanpa kepastian!” Sahut Jingga dengan tenang. “wanita bodoh selalu saja percaya pada janji yang bahkan Tuhan saja belum tentu memberikan waktu sampai janji itu terwujud!” “wanita bodoh itu adalah Jingga, dan itu aku!” sesudah berkata demikian, hati Jingga rasanya sakit. Ia tak menyangka akan seberani ini. Luka lama memang benar-benar hebat! Ia mampu mengubah apapun, termasuk perasaan dan tindakan Jingga saat ini.
            Seakan keberanian yang telah ia simpan bertahun-tahun tersirap di sekujur tubuhnya. Ingin rasanya ia terduduk lesu ataupun berlutut di tanah. Apa yang kurang pada diri Aris? Dirinya sendirinya pun yakin tak ada, dia sempurna untuk Jingga dan hanya untuknya!
            Puluhan menit tabir keheningan tercipta diantara Aris dan Jingga. Entah seberapa tebal tabir itu sekarang, yang pasti kekakuan merangkak menyelimuti gerak-gerik mereka berdua. Dalam keheningan itu, tiba-tiba dering nada panggil dari ponsel Aris berbunyi. Dengan cepat ia mengangkat panggilan tersebut sambil menjauh dari Jingga. Yang ditinggalkan hanya diam dan menatap sayu dari kejauhan. Lama sekali Aris menerima panggilan dan setelah itu ia seperti terburu-buru pergi.
“Aku pulang duluan dek, ada urusan penting!” kata Aris dengan raut wajah tegang, kemudian berbalik meninggalkan Jingga sendirian.
            Jingga menelan ludah sejenak, pikirannya sedang kacau dan tak bisa berakal sehat. Tadinya ia ingin diantarkan pulang terlebih dahulu, tapi ia sangat malu. Dan lagipula hatinya juga sakit mendapat respon dari pria itu. Kenapa Aris dengan mudah mencintainya? Membuat hatinya berbunga-bunga? Namun ketika mengalami penolakkan dia pergi menghindar jauh sekali, benar-benar berbeda! Setidaknya lihat Jingga, ia sekarang harus pulang sama siapa? Suasana hatinya tak mendukung apapun yang ia pikirkan. Malam ini ia begitu bahagia, tapi juga amat kacau!!!

Tadaaa...... Dan ini adalah part klimaks dari lamaran jingga :D kesal? Kecewa? Atau apapun boleh aja, tapi gak boleh kalo gak ngelanjutin cerbung ini sampai habis ya hehe maafin kalo ada kekurangan, keep enjoy and i love you all my beloved readers :* Wassalamu'alaikum

Minggu, 24 Juli 2016

Cerbung: Lamaran Jingga

Lamaran Jingga (4)
Written by Indri Permana


“Kok adek mau sih jadi pengajar di SLB?” Aris bertanya setelah lama mereka hanya berdiam diri dalam perjalanan. “Karena disana aku bisa menjadi orang yang lebih baik dan lebih berguna.” Aris hanya manggut-manggut mendengar jawaban dari Jingga. Walaupun terlihat begitu banyak hal yang ingin ia tanyakan kepada gadis itu, dia ternyata cukup bisa menahan diri.
            “makasih kak sudah mau repot-repot nganterin aku,” seru Jingga sesudah mereka sampai di tempatnya mengajar. “Semangat dek! Mereka butuh kamu.” Jingga hanya tersenyum mengangguk dan berlalu meninggalkan Aris. Yang ditinggalkan juga tersenyum, dan menatap punggung Jingga yang menjauh sampai benar-benar tak terlihat lagi.
***
            Sudah satu bulan lebih semenjak hari dimana Aris mengantarkan Jingga. Mereka kini sudah jauh lebih dekat. Dan bisa saja benih cinta di antara mereka sudah benar-benar tumbuh. Walau mungkin masih terlalu singkat untuk mengakui perasaan tersebut. Namun, ada satu hal yang membuat Jingga selalu membunuh perasaan yang muncul tiap kali ia merasakan kenyamanan dengan Aris. Entahlah, ia tak mungkin melupakan rasa sakit yang begitu hebat bertakhta di hati dan pikirannya.
            “Kamu gak bisa seperti ini selamanya Jingga!” ia berkata seperti itu pada dirinya sendiri di depan cermin. “Apa yang harus aku lakukan?” ia berteriak kembali pada dirinya sendiri di cermin. “Dasar Bodoh!” kali ini ia menjatuhkan dirinya ke atas kasur, menenggelamkan wajahnya pada bantal. Dia merasa gemas juga pada dirinya sendiri. Tiba-tiba terdengar nada panggilan dari ponselnya. Secepat kilat ia merangkak dari kasur dan tangannya menggambil ponsel kemudian menggangkat telepon yang ternyata dari Aris.
            “Assalamu’alaikum, ada apa kak?” Jingga menahan napas sejenak, “ketemuan? Sore ini?” Tanyanya kaget, “oke, sampai jumpa nanti kak! Wa’alaikumsalam.” Fiuhhh….. Ia akhirnya bisa bernapas kembali. Mungkin untuknya hanya sekedar mengangkat telepon dari Aris pun adalah sebuah ujian hebat!
            Hari ini sabtu, dan ia bebas tugas dari mengajar. Untuk urusan mengirim naskah dongeng dan cerita anak sudah ia kurangi. Karena sekarang banyak orang yang sudah mahir dan lebih ahli dari Jingga. Sehingga ia ingin mundur perlahan dan fokus kepada tujuannya mengajar anak didik berkebutuhan khususnya. Hari yang biasanya dilewati dengan begitu santai. Sekarang malah dilewati dengan penuh ketegangan dan was-was. Bagaimana tidak? Sudah sejak tiga tahun yang lalu ia tak pernah mau jalan bareng dengan laki-laki. Sekarang malah ia pasrah saja diajak ketemuan, mungkin saja sore ini dia dinner.
            “Yang ini bagus ga! Kayak semi formal gitu, kalo kerudungnya pake yang ini, cocok deh!” sahut Giana, ahli fashion sementara yang ia hubungi untuk membantunya. Namun, yang diberi masukkan malah tak menanggapi dan sibuk tengkurap sambil membaca majalah di kasur yang penuh sesak dengan baju. Ia bahkan terlihat sibuk sendiri dengan pikirannya. “ga? Jinggaaa! Loe denger gua gak sih?” teriak Giana sedikit kesal. “heem….” Jawabnya asal. “mikirin apa sih? Mantan loe si gila itu?” Tanya Giana gemas. “okeh, gini deh! Di masa lalu, mungkin dia berarti dan berharga buat loe, tapi di masa depan entah jadi apa tuh orang.” Jingga termenung mendengar ucapan temannya, dan tiba-tiba tanpa permisi mencubit kedua pipi Giana dengan gemas. “Makasih Gi, udah selalu ada buat aku kapanpun aku butuh. You are the best!” ucap Jingga sambil mengedipkan mata. Teman Jingga itu terbahak lalu menimpali, “yang jatuh cinta tambah puitis dan penyayang gitu ya?”
***

            Waktu berlalu dengan begitu cepat. Tiba saatnya acara ketemuan Jingga dan Aris berlangsung. Namun, apa yang dipikirkan Jingga dengan kenyataan yang Aris berikan benar-benar berbeda 180 derajat! Ia pikir, Aris akan mengajaknya ke sebuah restorant mewah dengan menu yang super wahh. Lalu malam ini akan dilewati dengan begitu romantis dan menakjubkan. Ini benar-benar sangat di luar ekspetasi!

Maafin ya kelanjutan yang ini agak sedikit telat karena ada beberapa kesibukan jadi Maru *cieee :D semoga tetap menghibur dan ikuti terus kelanjutannya :) I Love You All My Beloved Readers :*({}) Wasssalamu'alaikum

Minggu, 17 Juli 2016

Cerbung: Lamaran Jingga

Lamaran Jingga (3)
Written by Indri Permana


Dahi Jingga berkerut membaca sms tersebut, ternyata itu dari Aris. Ia berpikir sejenak, kok bisa ya Aris tahu nomor hp aku? Oh, mungkin ia lupa bahwa Aris kan temannya bang Isal. Dia membaca sms itu untuk kedua kalinya. Sms pertama dikirim tadi malam, sedangkan sms kedua barusaja sampai. Tunggu! Isi sms kedua ini sangat-sangat membuatnya terkejut. Aris membangunkan Jingga untuk menyuruhnya melaksanakan qiyamul lail. It's s so strange!
Namun entah kenapa, rasanya jantung Jingga seolah-olah tercabut. Tak pernah ada orang yang membangunkannya untuk melaksanakan shalat malam, kecuali mendiang ibunya. Dan sekarang  Aris. Ada apa ini? Mengapa harus Aris? Tanpa berpikir panjang lagi dia bangkit menuju kamar mandi lalu mengambil air wudhu.
Setelah melaksanakan shalat malam, Jingga tak kembali tidur. Dia memutuskan untuk menyelesaikan naskah-naskah dongengnya yang sebentar lagi harus dikirimkan ke redaksi. Alasan ia memilih bergabung menjadi penulis di redaksi majalah tersebut bukan semata ia butuh uang. Hanya saja ia sangat menyukai anak-anak. Mereka polos, penyayang, dan mudah sekali memaafkan. Anak-anak bisa langsung kembali tersenyum dan bermain dengan bahagianya, padahal pada saat sebelumnya mereka saling menyakiti dan berebut mainan. Andai Jingga seperti itu, mungkin ia tak perlu lama-lama lagi menyimpan dan menutup-nutupi luka yang selama ini dia sembuhkan sendiri.
Ketika adzan subuh terdengar, naskah Jingga sudah selesai semua. Kemudian ia beranjak menunaikan kewajibannya menghadap Allah swt.. seperti biasa, sehabis shalat ia menjalankan rutinitasnya. Setiap hari rutinitas yang ia jalankan sebelum berangkat mengajar selalu sama. Pertama, ia harus membereskan rumah; kedua, ia membuat sarapan atau bekal makan untuk dirinya sendiri; ketiga dan yang terakhir, menyiapkan secangkir teh hangat untuk ia nikmati sambil menonton acara berita pagi di televisi.
***
Selesai menonton acara berita, Jingga segera bersiap-siap menuju garasi. Namun yang terjadi adalah motor kesayangannya pecah ban! Kok bisa? Kenapa gak di cek dari kemarin ya? Ia menggerutu sendiri dalam hati. Padahal hari ini selain mengajar di sekolah, ia juga harus mengantarkan naskah ke redaksi dan mengirim salinannya untuk Zinan dan Zandra. Akhirnya, dengan terpaksa hari ini ia harus pergi ke rumah bang Isal menggunakan taksi dan meminjam kendaraannya.
Sampai di rumah bang Isal, Jingga mendapati ada motor terpakir di halaman rumah. Tanpa menghiraukannya, ia memasuki rumah. “Assalamu’alaikum bang! Kak Amel!” sahutnya dari depan rumah. Karena tak ada jawaban, akhirnya ia memutuskan untuk masuk rumah dan ketika di ruang tamu ia berpapasan dengan Aris.
“Eh, dek Jingga,” sapa Aris dengan sunggingan manis bibirnya yang begitu memikat. “Kok pagi-pagi udah ada disini kak? Bang Isal mana?” Tanya Jingga. “ini dek cuma ada urusan aja sebentar,” jawabnya, “bang Isal lagi bantuin mandiin si kembar sama Amel.” Aris mengendikkan dagu ke belakang “oh gitu,” gumannya. Kemudian ia mengeluarkan notes dan bundel naskah salinannya. Ia menulis sesuatu di sana. Aris tersenyum melihat tingkahnya, lalu melangkah ke ambang pintu sebentar, “kamu gak bawa motor? Aku anterin yuk!” Jingga yang sedang menulis tak mendengar suara Aris, kemudian dengan jailnya Aris sengaja mendekat ke belakang tubuhnya dan berbisik tepat di depan telinga Jingga dengan lembut, “dek, ayo kakak anterin.” Otomatis naskah salinan yang sedang menjadi alasnya menulis jatuh dan membuatnya salah tingkah.

Sebelum Jingga sempat bereaksi apapun, bang Isal datang menemuinya. Untung saja bang Isal datang, kalau tidak ia tak menjamin dirinya bakal selamat dari salah tingkah lebih lama. Bang Isal bercakap-cakap sebentar dengan Aris, kemudian ia menghampiri adiknya. “Kamu bakal dianterin ke sekolah sama Aris, dia baik kok, gak bakalan gigit,” bang Isal tersenyum jail dan mengedipkan mata, ternyata dia tahu kedatangan Jingga ke rumahnya selain untuk memberikan salinan naskah dongeng juga akan meminjam kendaraannya. Jingga terkesiap, apa-apaan ini? Tapi pagi ini lewat dengan begitu cepat. Kalau saja hari ini ia tak takut kesiangan, kalau saja hari ini motornya tidak pecah ban, kalau saja Aris bukan orang yang kenal baik dengan bang Isal. Ia tak mau dengan seenaknya diantarkan ke tempatnya mengajar. Dahi Jingga berkerut tajam, sampai-sampai kedua ujung alisnya hampir bertemu. Nampaknya, pagi itu hanya Aris yang nyegir kegirangan.*to be continued*

Alhamdulillah akhirnya bagian ketiga ini dipublish juga 😊😊 tetap terus ikuti ya kelanjutannya my beloved readers 😘 tiap bagian akan dipublish setiap 4-5 hari sekali hehe semoga tetap menghibur dan salam literasi 😊 wassalamu'alaikum