Sabtu, 03 September 2016

Cerbung: Lamaran Jingga

Lamaran Jingga (8)
Written by Indri Permana

Dengan hati yang bergemuruh hebat, yang kini sedang berdebar tak karuan. Ia bersiap-siap, dari mulai mandi sambil berdandan. Kak Amel juga membantunya, bahkan meminjamkan baju kaftan terbaik bekas lebaran tahun kemarin. Karena Jingga waktu pindah ke rumahnya pun hanya membawa baju santai dan baju untuk mengajar saja. Boro-boro bawa baju buat persiapan lamaran seperti ini!
Selesai bersiap-siap. Jingga yang dituntun oleh kak Amel memasuki ruang tamu. Walaupun ia berjalan dengan posisi menunduk, tapi rupanya ia mencuri-curi pandang melihat siapa yang melamarnya. Yang terlihat oleh Jingga, hanya ada seorang bapak, ibu, lelaki yang berusia sekitar 40 tahunan dan wanita yang pernah ia lihat dibonceng oleh Aris. Ngapain pula dia ada disini? Ini kan acara lamarannya Jingga.
Lalu Jingga duduk di samping kak Amel. Di sebelah kursi yang ia duduki ada bang Isal dan Ayah. Sepertinya bang Isal sudah kenal akrab dengan keluarga ini, karena mengobrolpun tidak terlihat baru pertama kenal. Saat dia sedang menerka-nerka siapa dan darimana keluarga ini, tiba-tiba terdengar suara seorang yang begitu akrab, “Assalamu’alaikum, maaf agak telat tadi ban motornya bocor,” Jingga menoleh spontan dan matanya menangkap satu sosok yang ia rindui setiap saat sekaligus orang yang hampir ia benci, “Kak Aris….” Lirihnya sambil menutup mulut dengan satu tangannya.
***
Ada banyak hal yang ingin Jingga tanyakan pada Aris. Namun, selama proses lamaran ia hanya banyak diam dan mencuri-curi pandang ke arah Aris. Semua keputusan ia serahkan kepada Ayahnya dan bang Isal sebagai wali. Ia yakin, apa yang Ayahnya ridhoi, Allah pasti ridho. Insha Allah Jingga dapat menerima semuanya dengan kelapangan hati.
Setelah keputusan lamaran disepakati, ketegangan pun mencair. Alhamdulillah, Jingga sebentar lagi tak akan sendiri. Ia akan menjadi seorang istri! Untuk menghilangkan sesak di dadanya, Jingga memutuskan untuk undur diri. Dia menuju ke halaman belakang rumah dan berdiam diri disana.
Tanpa Jingga ketahui Aris mengikutinya dari belakang dan menatap lembut ke arahnya. "Setelah kejadian waktu adek nolak aku. Aku sadar, sekarang bukan saatnya kita main-main lagi ya?” perkataan Aris mengagetkan Jingga yang sedang melamun. Jingga memilih diam dan menghindar dari pandangan Aris. “lho dek, kenapa diam gitu? Jangan gitu dong, kakak tambah cinta sama kamu kalo kamu kayak gitu!” goda Aris sambil tersenyum lembut penuh kasih sayang. “Jadi kemana aja kak Aris selama ini? Tiba-tiba aja pergi dan gak ada kabar, pas datang langsung ngelamar aku!” gerutunya kesal. Aris dengan susah payah menjelaskan kepergiannya yang tiba-tiba malam itu. Ternyata Aris bukan pergi tanpa sebab, tetapi ayahnya waktu itu terkena serangan jantung dan dirawat selama seminggu di rumah sakit. Tak lupa juga, Aris menjelaskan perihal ‘wanita yang dibonceng’ olehnya tempo hari karena Jingga bertanya dengan aksen nada cemburu. Sebenarnya tak ada hubungan apa-apa, toh wanita itu ternyata adiknya Aris, malah sudah punya suami pula.
Aris dan Jingga menghabiskan waktu berjam-jam mengobrol di halaman belakang. Waktu memang terasa lebih cepat, saat kita bersama dengan orang kita sayangi. Saat Aris melihat raut kantuk di wajahnya, Aris mengakhiri percakapan mereka. “Kaka pulang dulu dek, kasian tuh kamu udah ngantuk gitu!” seru Aris sambil terus memperhatikan wajah Jingga. “oh gitu ya?” gumamnya dengan nada kecewa. “kalo gitu hati-hati pulangnya kak. Kan sendirian tuh, malam-malam pula!” ia berpesan.
Aris hanya tersenyum mendengar celotehannya, lalu dengan perlahan ia mendekati Jingga. Setelah begitu dekat, Aris mencondongkan kepala ke arah wajah Jingga, sampai begitu dekatnya. Jingga yang diperlakukan seperti itu benar-benar kikuk dan salah tingkah. Aris yang menggodanya tak tahan melihat raut kikuk wajahnya dan berusaha sekuat tenaga bersuara cool “Lalu, kapan kita bakal ‘ketemuan sore’ lagi?” Ujar Aris nakal sambil mengedipkan sebelah matanya. Kemudian tanpa rasa bersalah, ia melenggang pergi sambil melambaikan tangan. Ia meninggalkan Jingga yang masih kesal bercampur sebal dengan tingkahnya. Laki-laki itu memang sulit ditebak bukan?  Dan dalam hati Jingga berbisik ahh.... Hanya dia satu-satunya lelaki yang membuat semuanya sulit ditebak! THE END 


Yeaaa Alhamdulillah akhirnya author bisa menyelesaikan cerbung ini dengan happy ending ya but i feel sad so bad 😂😂😂 ini cerita sebenernya udah harus dipost dari 3 minggu yang lalu, tapi takut aja gak tau kenapa ya jadi emosinal gini ya Allah....  Tapi untuk pembaca cerbung setia saya haturkan banyak terima kasih sudah menunggu dan membaca walaupun lama 😍😍😍 pokoknya akhir kata author ucapin maaf dan terimakasih 😇😇😇 love you all always my beloved readers Wassalamu'alaikum 😘😘😘


Minggu, 14 Agustus 2016

Cerbung: Lamaran Jingga

Lamaran Jingga (7)
Written by Indri Permana

Seminggu semenjak kepulangan Jingga dari Desa. Kini ia sudah tak memikirkan masalahnya yang dulu-dulu. Ia tampak terlihat lebih ceria dan tenang. Amara yang dulu marah-marah padanya juga sudah minta maaf. Dan sekarang mereka membuka lembaran baru pada hati masing-masing. Cinta yang sejak lama ditunggu memang kadang tak datang saat kita inginkan. Tapi Tuhan akan memberikan cinta itu di saat yang tepat dan waktu yang indah. Seperti Jingga dalam artian warna. Ia tak merah seluruhnya, ia juga tak kuning semua. Dan cinta juga begitu, ia tak bahagia selamanya namun tak melulu menyedihkan.
Berkali-kali Jingga jatuh dan patah hati. Berulang kali pula ia harus menelan bulat-bulat kegagalan yang dialaminya dalam urusan cinta. Iya, dia memang tak beruntung dalam hal itu. Tapi, hal lain dalam hidupnya berbeda. Dia dapat dengan mudahnya mendapat tawaran menjadi seorang penulis pada sebuah redaksi, disukai pula tulisannya. Ia juga sangat piawai dan ahli dalam mengajar. Anak-anak didiknya pun sangat menyayanginya. Hatinya yang demikian lembut membawanya menempati posisi tinggi dalam beberapa komunitas kemanusiaan. Ia wanita yang hebat, bahkan ketika usianya baru seperempat abad!
Jingga. wanita itu sekarang sedang duduk pada ayunan di bawah pohon mangga. Dia memangku sebuah laptop dan jari-jarinya terlihat lancar mengetik. Matanya yang jernih dibingkai dengan kaca mata frameless. Benar-benar terlihat elegan dan cantik! Dia sekarang masih aktif menulis, tapi tidak seperti dahulu. Ia sekarang menulis beberapa cerpen dan puisi untuk ia kirim ke redaksi majalah atau koran. Ia dapat menangis lewat kata-katanya dalam sebuah puisi. Ia juga dapat tertawa terbahak-bahak tak karuan lewat cerpen karyanya. Menulis adalah hidupnya. Baginya menulis adalah oksigen yang menyambung kehidupan dalam tiap detik di hidupnya.
Seseorang terlihat berjalan tergopoh-gopoh mendekati Jingga. oh iya, itu Euis, asisten rumah tangga baru bang Isal. “neng….. neng Jingga!” euis meneriaki Jingga sambil ngos-ngosan. Dia menoleh sambil mengangkat satu alisnya “heem bi, ada apa?” “itu neng… anu, ada rombongan yang datang ngelamar eneng!” kata bi euis setengah menjerit. Jingga terbelalak kaget, hampir saja ia jantungan mendengar kata “ngelamar” yang disampaikan bi euis. Memangnya siapa yang mau ngelamar dia? Toh punya calon pun enggak. Jingga masih dalam posisi wajah kaget dan melongo aneh. Ketika kekagetannya belum habis, datang pula kak Amel menyuruhnya bersiap-siap untuk mengganti pakaian, “hayoh cepetan! Keluarga calonmu kelamaan nunggu tuh!” perintah kak Amel gemas. 


Alhamdulillah bagian ini selesai tepat waktu, walaupun menulis sambil galau :( hahaha but it's okay, semoga tetap menghibur ya i love you all my beloved readers :* wassalamu'alaikum :)


Minggu, 07 Agustus 2016

Cerbung: Lamaran Jingga

Lamaran Jingga (6)
Written by Indri Permana

Setelah kejadian tempo hari di panti asuhan yang benar-benar membuat hati Jingga kacau. Ia memutuskan untuk tinggal bersama di rumah bang Isal. Alasannya tentu saja karena ada si kembar, pelipur segala gundah yang tak hanya dimiliki oleh bang Isal dan kak Amel saja tapi juga dirinya. Ia berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa. Menulis, mengajar di SLB, dan terakhir bermain-main dengan keponakannya.
            “Zandra kok kamu ganteng banget sih!” ucap Jingga ketika sedang bermain-main di halaman belakang. “Iya dong, anak kak Amel gitu! Makannya kamu cepet nikah dan punya anak dek!” Sahut kak Amel padanya setengah meledek. Dia mencoba berpura-pura tak mendengar dan lanjut bermain-main dengan Zandra. Dalam hati, ia kesal juga. Bukan ia tak mau menikah atau apa. Tapi siapa yang mau tanggung jawab kalau saja menikah terburu-buru dengan calon gak jelas kemudian berakhir dengan amat kacau!? Gak dulu deh, makasih!
            Ketika saat makan malam, Jingga tak berselera makan. Sehingga ia memutuskan untuk menyuapi keponakan kembarnya. Ia melakukan itu untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan dari bang Isal dan kak Amel yang mungkin saja bisa menjurus ke Aris. Setelah selesai, ia juga mengambil alih keponakannya untuk di tidurkan.
            “Kenapa sih, semenjak tinggal disini kamu kayak babysitter gitu dek!” Tanya bang Isal ketika menjumpai Jingga di kamarnya. “Enggak apa-apa bang,” sahut ia sekenanya. “oh iya,  besok lusa aku udah putusin mau jenguk ayah, tiket kereta udah di pesan. Tinggal packing-packing aja.” Tambahnya. “kamu kan harus ngajar sama kerja di redaksi juga, emang gak akan kenapa-napa?” Tanya bang Isal. “enggaklah, lagian aku mau ambil cuti ngajar sama masalah kerjaan di redaksi aku juga udah resign bang,” “jadi ini cara kamu untuk menghindari masalah ya? Pergi gitu aja? Gak mau ambil pusing?” timpal bang Isal. Jingga hanya tertawa hambar dan menyuruh bang Isal keluar dari kamarnya dengan alasan ia ingin tidur.
***
            Hampir seminggu ia menetap di desa bersama ayahnya. Niat awalnya dia pergi kesini adalah menenangkan hatinya. Tapi hatinya masih belum mengalami perubahan apa-apa, pikirannya pun masih untuk Aris. Lagi-lagi Aris! Malahan waktu perjalanan ke stasiun kereta ia sempat berpapasan dengan Aris yang sedang membonceng wanita. Untung saja dia tak melihat Jingga. Sempat terlintas ia ingin marah-marah saja, tapi dia siapa? Kadang ia juga berpikir kenapa dulu tak ia terima saja, bukankah itu lebih baik?
            “Kamu tuh, dari tadi bengong mulu…. Liatin hp terus, ada apa sih?” suara wanita mengagetkan Jingga yang sedang melamun, ia melirik sebentar dan melihat bibinya sedang memperhatikan. “Enggak kenapa-napa kok,” jawabnya lesu. “Anak muda gitu ya? Mudah plin-plan, mudah labil, mudah galau juga ya?” kata bibi sambil cekikikan.
Jingga menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Rasanya sesak juga paru-parunya bila harus bermumet ria di rumah ayah saja. Sehingga, ia memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar mengelilingi sekitaran desa ini. Dan sampailah ia di persawahan yang luas yang dihubungkan dengan sebuah jembatan. Di bawah jembatan, ada sungai yang lumayan besar tapi alirannya agak tenang sehingga banyak warga desa yang memancing. Seperempat jam ia habiskan untuk duduk di pinggir jembatan, melihat orang yang mencuci, memancing, maupun yang sedang mengurusi sawahnya. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang dan tidur siang.
***
Sesudah bangun dari hibernasi sesaatnya, Jingga menengok ke ruang keluarga dan mendapati ayahnya sedang khusyuk mengaji. Ia jadi teringat sama ibunya, biasanya ayah dan ibu suka mengaji bareng. Dulu pas bang Isal dan Jingga masih kecil pun mereka suka mengaji sama-sama. Andai ibu masih ada. Andai ia tak pernah menjadi dewasa dan punya urusan serumit ini.
“Dek? Ngapain disana?” tegur ayah ketika melihatnya sedang mengintip sambil melamun. “ehh… enggak yah, adek boleh kesana? Nemenin ayah?” Tanyanya pada ayah. Ayah menjawabnya sambil tersenyum, “boleh dong!”
Mereka berdua duduk bersama sambil menonton acara tv siang itu. Dengan sigap Jingga membuatkan kopi untuk ayah dan teh untuk dirinya. Moment seperti ini hampir tak pernah terjadi lagi sejak ibu pergi. Ini benar-benar moment berharga Jingga. Terlebih saat keluarganya masih lengkap pun, ia lebih dekat dengan ibunya bukan ayahnya.
“Jadi bentar lagi adek mau pulang?” Tanya ayahnya serius. “Iya, ayah juga ikut dong. Lagipula aku gak bisa tinggal sendirian di rumah. Kemarin aja aku nginep di rumah bang Isal yah.” Jingga bercerita. “hhmm…. ya udah ayah ikut. Tapi ayah mau tinggal di rumah bang Isal aja, kan udah lama juga ayah gak nengok cucu kembar ayah.” “Nahhh… gitu dong yah!” Jingga tersenyum kegirangan dan memeluk ayahnya sebagai ucapan terima kasih.
***
“Assalamu’alaikum, halo? Bang Isal dimana? Aku sama ayah udah sampai di stasiun nih!” ujar Jingga setengah berteriak di balik telepon. “Iya… iya… di tunggu ya! Disini rame banget bang, gak kedengeran. Wa’alaikumsalam” ia memutuskan sambungan telepon lalu menarik dua koper ukuran sedang sekaligus ke bangku tunggu. “Eehh gak apa-apa biar sama ayah aja dek!” tolak ayahnya ketika melihat tubuh Jingga terseret-seret menarik koper. “udah yah, biar aku aja!” kilahnya. Mereka akhirnya menemukan bangku tunggu kosong dan duduk melepas penat di sana.  Tak lama bang Isal datang dan mereka pun langsung pulang meninggalkan stasiun. 


Alhamdulillah ini sudah masuk ke 3 part terakhir dari cerbung lamaran jingga 😂😂 cerbung ini gak dibuat terlalu panjang maupun terlalu pendek karena menjaga mood pembaca juga 😀 semoga bagian antiklimaks ini menghibur yaaa,  i love you all my beloved 😘😘 wassalamu'alaikum


Minggu, 31 Juli 2016

Cerbung: Lamaran Jingga

Lamaran Jingga (5)
Written by Indri Permana

“Aku pikir kamu bakalan seneng diajak kesini dek!” kata-kata Aris membuat pikirannya kembali pulih dan spontan tersenyum. “iya kak, aku seneng kok! Apalagi banyak anak-anak.” Jingga berusaha menanggapi dengan santai. Lalu apa artinya pulsa yang ia buang hanya untuk sekedar menghubungi Giana, ‘ahli fashion’ sementara yang ia booking. Memilih baju terbaik, dan berdandan serapi yang ia bisa. Memang tak apa-apa, tapi ini gila!
            Akan tetapi, apa  yang terjadi kemudian benar-benar diluar dugaan Jingga. Ternyata berada disini, tempat semua anak-anak yang telah ditinggalkan oleh orang tua secara sesungguhnya maupun tidak, benar-benar tak terduga. Ia disini bisa merasakan bahagia, haru, dan sedih secara bersamaan. Ia merasakan hal yang lebih baik dari hanya sekedar dinner di restorant mewah dengan hidangan yang super wahh. Berbagi dengan mereka dalam bentuk materi maupun bukan, benar-benar menyenangkan! Jiwa sekaligus batinnya kini terasa penuh dengan rasa yang tidak bisa dijelaskan.
            “Awalnya aku gak yakin lho mau ngajakin kamu kesini,” Aris berbicara dengan hati-hati sambil menyendokkan es krim ke mulutnya. “Awalnya aku juga yakin bakal diajakkin ke tempat yang lebih baik dari ini,” sahut Jingga, “tapi ini indah! Tak ada senyum dan tawa yang tulusnya sampai merasuk kehati gini. Aku jatuh cinta sama tempat ini kak,” lanjutnya sambil tersenyum lebar matanya berbinar bahagia. Aris tertawa keras sambil memegang perutnya dan baru berhenti setelah melihat ekspresi Jingga yang kesal, “Aku juga jatuh cinta sama tempat ini.” Jatuh cinta sama kamu juga dek! Tambahnya dalam hati.
            Menikmati udara malam yang cerah seperti ini, dengan satu pot es krim rasa vanilla cookies berdua, antara Jingga dan Aris. Tapi, yang mereka ciptakan hanya keheningan yang dibumbui dengan desau angin dan suara malam lainnya. Aris tiba-tiba teringat dengan apa yang ingin ia katakan kepada Jingga. Sebelum semuanya terlambat, sebelum ini akan menjadi itu, dan sebelum moment seperti ini berakhir. Ia akan mengatakan apapun yang ada di hatinya.
            “Dek, aku gak bisa kalau harus basa-basi,” kemudian Aris menarik napas dan menghembuskannya “aku suka kamu dek, dari dulu! Dari pas zaman aku SMA, aku udah suka sama kamu.” Kata Aris dengan tenang. Orang yang dituju malah diam saja, dia tak bergeming. “Es krim ini buat aku aja kak!” sahut Jingga, pura-pura tak mendengar perkataan Aris. Karena gemas, Aris merebut pot es krim dari tangannya dengan paksa. “Kamu harus mau jadi pacar aku dek!” ucapnya setengah memaksa, “Jawab sekarang, karena aku gak bisa nunggu!” Aris mempertegas ucapannya.
            Lama sekali Jingga terdiam. Ia dengan susah payah menguatkan hatinya sendiri. Meyakinkan diri untuk mengatakan apa yang harus ia katakan sekarang. “Aku gak bisa!” ucapnya lirih. “Aku gak bisa bertahan dengan hubungan yang seperti itu, yang hanya akan membuat aku terluka berkali-kali tanpa kepastian!” Sahut Jingga dengan tenang. “wanita bodoh selalu saja percaya pada janji yang bahkan Tuhan saja belum tentu memberikan waktu sampai janji itu terwujud!” “wanita bodoh itu adalah Jingga, dan itu aku!” sesudah berkata demikian, hati Jingga rasanya sakit. Ia tak menyangka akan seberani ini. Luka lama memang benar-benar hebat! Ia mampu mengubah apapun, termasuk perasaan dan tindakan Jingga saat ini.
            Seakan keberanian yang telah ia simpan bertahun-tahun tersirap di sekujur tubuhnya. Ingin rasanya ia terduduk lesu ataupun berlutut di tanah. Apa yang kurang pada diri Aris? Dirinya sendirinya pun yakin tak ada, dia sempurna untuk Jingga dan hanya untuknya!
            Puluhan menit tabir keheningan tercipta diantara Aris dan Jingga. Entah seberapa tebal tabir itu sekarang, yang pasti kekakuan merangkak menyelimuti gerak-gerik mereka berdua. Dalam keheningan itu, tiba-tiba dering nada panggil dari ponsel Aris berbunyi. Dengan cepat ia mengangkat panggilan tersebut sambil menjauh dari Jingga. Yang ditinggalkan hanya diam dan menatap sayu dari kejauhan. Lama sekali Aris menerima panggilan dan setelah itu ia seperti terburu-buru pergi.
“Aku pulang duluan dek, ada urusan penting!” kata Aris dengan raut wajah tegang, kemudian berbalik meninggalkan Jingga sendirian.
            Jingga menelan ludah sejenak, pikirannya sedang kacau dan tak bisa berakal sehat. Tadinya ia ingin diantarkan pulang terlebih dahulu, tapi ia sangat malu. Dan lagipula hatinya juga sakit mendapat respon dari pria itu. Kenapa Aris dengan mudah mencintainya? Membuat hatinya berbunga-bunga? Namun ketika mengalami penolakkan dia pergi menghindar jauh sekali, benar-benar berbeda! Setidaknya lihat Jingga, ia sekarang harus pulang sama siapa? Suasana hatinya tak mendukung apapun yang ia pikirkan. Malam ini ia begitu bahagia, tapi juga amat kacau!!!

Tadaaa...... Dan ini adalah part klimaks dari lamaran jingga :D kesal? Kecewa? Atau apapun boleh aja, tapi gak boleh kalo gak ngelanjutin cerbung ini sampai habis ya hehe maafin kalo ada kekurangan, keep enjoy and i love you all my beloved readers :* Wassalamu'alaikum

Minggu, 24 Juli 2016

Cerbung: Lamaran Jingga

Lamaran Jingga (4)
Written by Indri Permana


“Kok adek mau sih jadi pengajar di SLB?” Aris bertanya setelah lama mereka hanya berdiam diri dalam perjalanan. “Karena disana aku bisa menjadi orang yang lebih baik dan lebih berguna.” Aris hanya manggut-manggut mendengar jawaban dari Jingga. Walaupun terlihat begitu banyak hal yang ingin ia tanyakan kepada gadis itu, dia ternyata cukup bisa menahan diri.
            “makasih kak sudah mau repot-repot nganterin aku,” seru Jingga sesudah mereka sampai di tempatnya mengajar. “Semangat dek! Mereka butuh kamu.” Jingga hanya tersenyum mengangguk dan berlalu meninggalkan Aris. Yang ditinggalkan juga tersenyum, dan menatap punggung Jingga yang menjauh sampai benar-benar tak terlihat lagi.
***
            Sudah satu bulan lebih semenjak hari dimana Aris mengantarkan Jingga. Mereka kini sudah jauh lebih dekat. Dan bisa saja benih cinta di antara mereka sudah benar-benar tumbuh. Walau mungkin masih terlalu singkat untuk mengakui perasaan tersebut. Namun, ada satu hal yang membuat Jingga selalu membunuh perasaan yang muncul tiap kali ia merasakan kenyamanan dengan Aris. Entahlah, ia tak mungkin melupakan rasa sakit yang begitu hebat bertakhta di hati dan pikirannya.
            “Kamu gak bisa seperti ini selamanya Jingga!” ia berkata seperti itu pada dirinya sendiri di depan cermin. “Apa yang harus aku lakukan?” ia berteriak kembali pada dirinya sendiri di cermin. “Dasar Bodoh!” kali ini ia menjatuhkan dirinya ke atas kasur, menenggelamkan wajahnya pada bantal. Dia merasa gemas juga pada dirinya sendiri. Tiba-tiba terdengar nada panggilan dari ponselnya. Secepat kilat ia merangkak dari kasur dan tangannya menggambil ponsel kemudian menggangkat telepon yang ternyata dari Aris.
            “Assalamu’alaikum, ada apa kak?” Jingga menahan napas sejenak, “ketemuan? Sore ini?” Tanyanya kaget, “oke, sampai jumpa nanti kak! Wa’alaikumsalam.” Fiuhhh….. Ia akhirnya bisa bernapas kembali. Mungkin untuknya hanya sekedar mengangkat telepon dari Aris pun adalah sebuah ujian hebat!
            Hari ini sabtu, dan ia bebas tugas dari mengajar. Untuk urusan mengirim naskah dongeng dan cerita anak sudah ia kurangi. Karena sekarang banyak orang yang sudah mahir dan lebih ahli dari Jingga. Sehingga ia ingin mundur perlahan dan fokus kepada tujuannya mengajar anak didik berkebutuhan khususnya. Hari yang biasanya dilewati dengan begitu santai. Sekarang malah dilewati dengan penuh ketegangan dan was-was. Bagaimana tidak? Sudah sejak tiga tahun yang lalu ia tak pernah mau jalan bareng dengan laki-laki. Sekarang malah ia pasrah saja diajak ketemuan, mungkin saja sore ini dia dinner.
            “Yang ini bagus ga! Kayak semi formal gitu, kalo kerudungnya pake yang ini, cocok deh!” sahut Giana, ahli fashion sementara yang ia hubungi untuk membantunya. Namun, yang diberi masukkan malah tak menanggapi dan sibuk tengkurap sambil membaca majalah di kasur yang penuh sesak dengan baju. Ia bahkan terlihat sibuk sendiri dengan pikirannya. “ga? Jinggaaa! Loe denger gua gak sih?” teriak Giana sedikit kesal. “heem….” Jawabnya asal. “mikirin apa sih? Mantan loe si gila itu?” Tanya Giana gemas. “okeh, gini deh! Di masa lalu, mungkin dia berarti dan berharga buat loe, tapi di masa depan entah jadi apa tuh orang.” Jingga termenung mendengar ucapan temannya, dan tiba-tiba tanpa permisi mencubit kedua pipi Giana dengan gemas. “Makasih Gi, udah selalu ada buat aku kapanpun aku butuh. You are the best!” ucap Jingga sambil mengedipkan mata. Teman Jingga itu terbahak lalu menimpali, “yang jatuh cinta tambah puitis dan penyayang gitu ya?”
***

            Waktu berlalu dengan begitu cepat. Tiba saatnya acara ketemuan Jingga dan Aris berlangsung. Namun, apa yang dipikirkan Jingga dengan kenyataan yang Aris berikan benar-benar berbeda 180 derajat! Ia pikir, Aris akan mengajaknya ke sebuah restorant mewah dengan menu yang super wahh. Lalu malam ini akan dilewati dengan begitu romantis dan menakjubkan. Ini benar-benar sangat di luar ekspetasi!

Maafin ya kelanjutan yang ini agak sedikit telat karena ada beberapa kesibukan jadi Maru *cieee :D semoga tetap menghibur dan ikuti terus kelanjutannya :) I Love You All My Beloved Readers :*({}) Wasssalamu'alaikum

Minggu, 17 Juli 2016

Cerbung: Lamaran Jingga

Lamaran Jingga (3)
Written by Indri Permana


Dahi Jingga berkerut membaca sms tersebut, ternyata itu dari Aris. Ia berpikir sejenak, kok bisa ya Aris tahu nomor hp aku? Oh, mungkin ia lupa bahwa Aris kan temannya bang Isal. Dia membaca sms itu untuk kedua kalinya. Sms pertama dikirim tadi malam, sedangkan sms kedua barusaja sampai. Tunggu! Isi sms kedua ini sangat-sangat membuatnya terkejut. Aris membangunkan Jingga untuk menyuruhnya melaksanakan qiyamul lail. It's s so strange!
Namun entah kenapa, rasanya jantung Jingga seolah-olah tercabut. Tak pernah ada orang yang membangunkannya untuk melaksanakan shalat malam, kecuali mendiang ibunya. Dan sekarang  Aris. Ada apa ini? Mengapa harus Aris? Tanpa berpikir panjang lagi dia bangkit menuju kamar mandi lalu mengambil air wudhu.
Setelah melaksanakan shalat malam, Jingga tak kembali tidur. Dia memutuskan untuk menyelesaikan naskah-naskah dongengnya yang sebentar lagi harus dikirimkan ke redaksi. Alasan ia memilih bergabung menjadi penulis di redaksi majalah tersebut bukan semata ia butuh uang. Hanya saja ia sangat menyukai anak-anak. Mereka polos, penyayang, dan mudah sekali memaafkan. Anak-anak bisa langsung kembali tersenyum dan bermain dengan bahagianya, padahal pada saat sebelumnya mereka saling menyakiti dan berebut mainan. Andai Jingga seperti itu, mungkin ia tak perlu lama-lama lagi menyimpan dan menutup-nutupi luka yang selama ini dia sembuhkan sendiri.
Ketika adzan subuh terdengar, naskah Jingga sudah selesai semua. Kemudian ia beranjak menunaikan kewajibannya menghadap Allah swt.. seperti biasa, sehabis shalat ia menjalankan rutinitasnya. Setiap hari rutinitas yang ia jalankan sebelum berangkat mengajar selalu sama. Pertama, ia harus membereskan rumah; kedua, ia membuat sarapan atau bekal makan untuk dirinya sendiri; ketiga dan yang terakhir, menyiapkan secangkir teh hangat untuk ia nikmati sambil menonton acara berita pagi di televisi.
***
Selesai menonton acara berita, Jingga segera bersiap-siap menuju garasi. Namun yang terjadi adalah motor kesayangannya pecah ban! Kok bisa? Kenapa gak di cek dari kemarin ya? Ia menggerutu sendiri dalam hati. Padahal hari ini selain mengajar di sekolah, ia juga harus mengantarkan naskah ke redaksi dan mengirim salinannya untuk Zinan dan Zandra. Akhirnya, dengan terpaksa hari ini ia harus pergi ke rumah bang Isal menggunakan taksi dan meminjam kendaraannya.
Sampai di rumah bang Isal, Jingga mendapati ada motor terpakir di halaman rumah. Tanpa menghiraukannya, ia memasuki rumah. “Assalamu’alaikum bang! Kak Amel!” sahutnya dari depan rumah. Karena tak ada jawaban, akhirnya ia memutuskan untuk masuk rumah dan ketika di ruang tamu ia berpapasan dengan Aris.
“Eh, dek Jingga,” sapa Aris dengan sunggingan manis bibirnya yang begitu memikat. “Kok pagi-pagi udah ada disini kak? Bang Isal mana?” Tanya Jingga. “ini dek cuma ada urusan aja sebentar,” jawabnya, “bang Isal lagi bantuin mandiin si kembar sama Amel.” Aris mengendikkan dagu ke belakang “oh gitu,” gumannya. Kemudian ia mengeluarkan notes dan bundel naskah salinannya. Ia menulis sesuatu di sana. Aris tersenyum melihat tingkahnya, lalu melangkah ke ambang pintu sebentar, “kamu gak bawa motor? Aku anterin yuk!” Jingga yang sedang menulis tak mendengar suara Aris, kemudian dengan jailnya Aris sengaja mendekat ke belakang tubuhnya dan berbisik tepat di depan telinga Jingga dengan lembut, “dek, ayo kakak anterin.” Otomatis naskah salinan yang sedang menjadi alasnya menulis jatuh dan membuatnya salah tingkah.

Sebelum Jingga sempat bereaksi apapun, bang Isal datang menemuinya. Untung saja bang Isal datang, kalau tidak ia tak menjamin dirinya bakal selamat dari salah tingkah lebih lama. Bang Isal bercakap-cakap sebentar dengan Aris, kemudian ia menghampiri adiknya. “Kamu bakal dianterin ke sekolah sama Aris, dia baik kok, gak bakalan gigit,” bang Isal tersenyum jail dan mengedipkan mata, ternyata dia tahu kedatangan Jingga ke rumahnya selain untuk memberikan salinan naskah dongeng juga akan meminjam kendaraannya. Jingga terkesiap, apa-apaan ini? Tapi pagi ini lewat dengan begitu cepat. Kalau saja hari ini ia tak takut kesiangan, kalau saja hari ini motornya tidak pecah ban, kalau saja Aris bukan orang yang kenal baik dengan bang Isal. Ia tak mau dengan seenaknya diantarkan ke tempatnya mengajar. Dahi Jingga berkerut tajam, sampai-sampai kedua ujung alisnya hampir bertemu. Nampaknya, pagi itu hanya Aris yang nyegir kegirangan.*to be continued*

Alhamdulillah akhirnya bagian ketiga ini dipublish juga 😊😊 tetap terus ikuti ya kelanjutannya my beloved readers 😘 tiap bagian akan dipublish setiap 4-5 hari sekali hehe semoga tetap menghibur dan salam literasi 😊 wassalamu'alaikum