Minggu, 07 Agustus 2016

Cerbung: Lamaran Jingga

Lamaran Jingga (6)
Written by Indri Permana

Setelah kejadian tempo hari di panti asuhan yang benar-benar membuat hati Jingga kacau. Ia memutuskan untuk tinggal bersama di rumah bang Isal. Alasannya tentu saja karena ada si kembar, pelipur segala gundah yang tak hanya dimiliki oleh bang Isal dan kak Amel saja tapi juga dirinya. Ia berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa. Menulis, mengajar di SLB, dan terakhir bermain-main dengan keponakannya.
            “Zandra kok kamu ganteng banget sih!” ucap Jingga ketika sedang bermain-main di halaman belakang. “Iya dong, anak kak Amel gitu! Makannya kamu cepet nikah dan punya anak dek!” Sahut kak Amel padanya setengah meledek. Dia mencoba berpura-pura tak mendengar dan lanjut bermain-main dengan Zandra. Dalam hati, ia kesal juga. Bukan ia tak mau menikah atau apa. Tapi siapa yang mau tanggung jawab kalau saja menikah terburu-buru dengan calon gak jelas kemudian berakhir dengan amat kacau!? Gak dulu deh, makasih!
            Ketika saat makan malam, Jingga tak berselera makan. Sehingga ia memutuskan untuk menyuapi keponakan kembarnya. Ia melakukan itu untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan dari bang Isal dan kak Amel yang mungkin saja bisa menjurus ke Aris. Setelah selesai, ia juga mengambil alih keponakannya untuk di tidurkan.
            “Kenapa sih, semenjak tinggal disini kamu kayak babysitter gitu dek!” Tanya bang Isal ketika menjumpai Jingga di kamarnya. “Enggak apa-apa bang,” sahut ia sekenanya. “oh iya,  besok lusa aku udah putusin mau jenguk ayah, tiket kereta udah di pesan. Tinggal packing-packing aja.” Tambahnya. “kamu kan harus ngajar sama kerja di redaksi juga, emang gak akan kenapa-napa?” Tanya bang Isal. “enggaklah, lagian aku mau ambil cuti ngajar sama masalah kerjaan di redaksi aku juga udah resign bang,” “jadi ini cara kamu untuk menghindari masalah ya? Pergi gitu aja? Gak mau ambil pusing?” timpal bang Isal. Jingga hanya tertawa hambar dan menyuruh bang Isal keluar dari kamarnya dengan alasan ia ingin tidur.
***
            Hampir seminggu ia menetap di desa bersama ayahnya. Niat awalnya dia pergi kesini adalah menenangkan hatinya. Tapi hatinya masih belum mengalami perubahan apa-apa, pikirannya pun masih untuk Aris. Lagi-lagi Aris! Malahan waktu perjalanan ke stasiun kereta ia sempat berpapasan dengan Aris yang sedang membonceng wanita. Untung saja dia tak melihat Jingga. Sempat terlintas ia ingin marah-marah saja, tapi dia siapa? Kadang ia juga berpikir kenapa dulu tak ia terima saja, bukankah itu lebih baik?
            “Kamu tuh, dari tadi bengong mulu…. Liatin hp terus, ada apa sih?” suara wanita mengagetkan Jingga yang sedang melamun, ia melirik sebentar dan melihat bibinya sedang memperhatikan. “Enggak kenapa-napa kok,” jawabnya lesu. “Anak muda gitu ya? Mudah plin-plan, mudah labil, mudah galau juga ya?” kata bibi sambil cekikikan.
Jingga menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Rasanya sesak juga paru-parunya bila harus bermumet ria di rumah ayah saja. Sehingga, ia memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar mengelilingi sekitaran desa ini. Dan sampailah ia di persawahan yang luas yang dihubungkan dengan sebuah jembatan. Di bawah jembatan, ada sungai yang lumayan besar tapi alirannya agak tenang sehingga banyak warga desa yang memancing. Seperempat jam ia habiskan untuk duduk di pinggir jembatan, melihat orang yang mencuci, memancing, maupun yang sedang mengurusi sawahnya. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang dan tidur siang.
***
Sesudah bangun dari hibernasi sesaatnya, Jingga menengok ke ruang keluarga dan mendapati ayahnya sedang khusyuk mengaji. Ia jadi teringat sama ibunya, biasanya ayah dan ibu suka mengaji bareng. Dulu pas bang Isal dan Jingga masih kecil pun mereka suka mengaji sama-sama. Andai ibu masih ada. Andai ia tak pernah menjadi dewasa dan punya urusan serumit ini.
“Dek? Ngapain disana?” tegur ayah ketika melihatnya sedang mengintip sambil melamun. “ehh… enggak yah, adek boleh kesana? Nemenin ayah?” Tanyanya pada ayah. Ayah menjawabnya sambil tersenyum, “boleh dong!”
Mereka berdua duduk bersama sambil menonton acara tv siang itu. Dengan sigap Jingga membuatkan kopi untuk ayah dan teh untuk dirinya. Moment seperti ini hampir tak pernah terjadi lagi sejak ibu pergi. Ini benar-benar moment berharga Jingga. Terlebih saat keluarganya masih lengkap pun, ia lebih dekat dengan ibunya bukan ayahnya.
“Jadi bentar lagi adek mau pulang?” Tanya ayahnya serius. “Iya, ayah juga ikut dong. Lagipula aku gak bisa tinggal sendirian di rumah. Kemarin aja aku nginep di rumah bang Isal yah.” Jingga bercerita. “hhmm…. ya udah ayah ikut. Tapi ayah mau tinggal di rumah bang Isal aja, kan udah lama juga ayah gak nengok cucu kembar ayah.” “Nahhh… gitu dong yah!” Jingga tersenyum kegirangan dan memeluk ayahnya sebagai ucapan terima kasih.
***
“Assalamu’alaikum, halo? Bang Isal dimana? Aku sama ayah udah sampai di stasiun nih!” ujar Jingga setengah berteriak di balik telepon. “Iya… iya… di tunggu ya! Disini rame banget bang, gak kedengeran. Wa’alaikumsalam” ia memutuskan sambungan telepon lalu menarik dua koper ukuran sedang sekaligus ke bangku tunggu. “Eehh gak apa-apa biar sama ayah aja dek!” tolak ayahnya ketika melihat tubuh Jingga terseret-seret menarik koper. “udah yah, biar aku aja!” kilahnya. Mereka akhirnya menemukan bangku tunggu kosong dan duduk melepas penat di sana.  Tak lama bang Isal datang dan mereka pun langsung pulang meninggalkan stasiun. 


Alhamdulillah ini sudah masuk ke 3 part terakhir dari cerbung lamaran jingga 😂😂 cerbung ini gak dibuat terlalu panjang maupun terlalu pendek karena menjaga mood pembaca juga 😀 semoga bagian antiklimaks ini menghibur yaaa,  i love you all my beloved 😘😘 wassalamu'alaikum


Tidak ada komentar:

Posting Komentar