Lamaran
Jingga (6)
Setelah kejadian tempo
hari di panti asuhan yang benar-benar membuat hati Jingga kacau. Ia memutuskan
untuk tinggal bersama di rumah bang Isal. Alasannya tentu saja karena ada si
kembar, pelipur segala gundah yang tak hanya dimiliki oleh bang Isal dan kak
Amel saja tapi juga dirinya. Ia berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa.
Menulis, mengajar di SLB, dan terakhir bermain-main dengan keponakannya.
“Zandra
kok kamu ganteng banget sih!” ucap Jingga ketika sedang bermain-main di halaman
belakang. “Iya dong, anak kak Amel gitu! Makannya kamu cepet nikah dan punya
anak dek!” Sahut kak Amel padanya setengah meledek. Dia mencoba berpura-pura
tak mendengar dan lanjut bermain-main dengan Zandra. Dalam hati, ia kesal juga. Bukan
ia tak mau menikah atau apa. Tapi siapa yang mau tanggung jawab kalau saja
menikah terburu-buru dengan calon gak jelas kemudian berakhir dengan amat kacau!?
Gak dulu deh, makasih!
Ketika
saat makan malam, Jingga tak berselera makan. Sehingga ia memutuskan untuk
menyuapi keponakan kembarnya. Ia melakukan itu untuk menghindari
pertanyaan-pertanyaan dari bang Isal dan kak Amel yang mungkin saja bisa
menjurus ke Aris. Setelah selesai, ia juga mengambil alih keponakannya untuk di
tidurkan.
“Kenapa
sih, semenjak tinggal disini kamu kayak babysitter gitu dek!” Tanya bang Isal
ketika menjumpai Jingga di kamarnya. “Enggak apa-apa bang,” sahut ia sekenanya.
“oh iya, besok lusa aku udah putusin mau jenguk ayah, tiket kereta udah
di pesan. Tinggal packing-packing aja.” Tambahnya. “kamu kan harus ngajar sama
kerja di redaksi juga, emang gak akan kenapa-napa?” Tanya bang Isal.
“enggaklah, lagian aku mau ambil cuti ngajar sama masalah kerjaan di redaksi
aku juga udah resign bang,” “jadi ini
cara kamu untuk menghindari masalah ya? Pergi gitu aja? Gak mau ambil pusing?”
timpal bang Isal. Jingga hanya tertawa hambar dan menyuruh bang Isal keluar
dari kamarnya dengan alasan ia ingin tidur.
***
Hampir
seminggu ia menetap di desa bersama ayahnya. Niat awalnya dia pergi kesini
adalah menenangkan hatinya. Tapi hatinya masih belum mengalami perubahan
apa-apa, pikirannya pun masih untuk Aris. Lagi-lagi Aris! Malahan waktu
perjalanan ke stasiun kereta ia sempat berpapasan dengan Aris yang sedang
membonceng wanita. Untung saja dia tak melihat Jingga. Sempat terlintas ia
ingin marah-marah saja, tapi dia siapa? Kadang ia juga berpikir kenapa dulu tak
ia terima saja, bukankah itu lebih baik?
“Kamu
tuh, dari tadi bengong mulu…. Liatin hp terus, ada apa sih?” suara wanita
mengagetkan Jingga yang sedang melamun, ia melirik sebentar dan melihat bibinya
sedang memperhatikan. “Enggak kenapa-napa kok,” jawabnya lesu. “Anak muda gitu
ya? Mudah plin-plan, mudah labil, mudah galau juga ya?” kata bibi sambil
cekikikan.
Jingga menarik napas
panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Rasanya sesak juga paru-parunya bila
harus bermumet ria di rumah ayah saja. Sehingga, ia memutuskan untuk
berjalan-jalan sebentar mengelilingi sekitaran desa ini. Dan sampailah ia di
persawahan yang luas yang dihubungkan dengan sebuah jembatan. Di bawah
jembatan, ada sungai yang lumayan besar tapi alirannya agak tenang sehingga
banyak warga desa yang memancing. Seperempat jam ia habiskan untuk duduk di
pinggir jembatan, melihat orang yang mencuci, memancing, maupun yang sedang
mengurusi sawahnya. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang dan tidur siang.
***
Sesudah bangun dari
hibernasi sesaatnya, Jingga menengok ke ruang keluarga dan mendapati ayahnya
sedang khusyuk mengaji. Ia jadi teringat sama ibunya, biasanya ayah dan ibu
suka mengaji bareng. Dulu pas bang Isal dan Jingga masih kecil pun mereka suka
mengaji sama-sama. Andai ibu masih ada. Andai ia tak pernah menjadi dewasa dan
punya urusan serumit ini.
“Dek? Ngapain disana?”
tegur ayah ketika melihatnya sedang mengintip sambil melamun. “ehh… enggak yah,
adek boleh kesana? Nemenin ayah?” Tanyanya pada ayah. Ayah menjawabnya sambil
tersenyum, “boleh dong!”
Mereka berdua duduk
bersama sambil menonton acara tv siang itu. Dengan sigap Jingga membuatkan kopi
untuk ayah dan teh untuk dirinya. Moment seperti ini hampir tak pernah terjadi
lagi sejak ibu pergi. Ini benar-benar moment berharga Jingga. Terlebih saat
keluarganya masih lengkap pun, ia lebih dekat dengan ibunya bukan ayahnya.
“Jadi bentar lagi adek
mau pulang?” Tanya ayahnya serius. “Iya, ayah juga ikut dong. Lagipula aku gak
bisa tinggal sendirian di rumah. Kemarin aja aku nginep di rumah bang Isal
yah.” Jingga bercerita. “hhmm…. ya udah ayah ikut. Tapi ayah mau tinggal di
rumah bang Isal aja, kan udah lama juga ayah gak nengok cucu kembar ayah.”
“Nahhh… gitu dong yah!” Jingga tersenyum kegirangan dan memeluk ayahnya sebagai
ucapan terima kasih.
***
“Assalamu’alaikum,
halo? Bang Isal dimana? Aku sama ayah udah sampai di stasiun nih!” ujar Jingga
setengah berteriak di balik telepon. “Iya… iya… di tunggu ya! Disini rame
banget bang, gak kedengeran. Wa’alaikumsalam” ia memutuskan sambungan telepon
lalu menarik dua koper ukuran sedang sekaligus ke bangku tunggu. “Eehh gak
apa-apa biar sama ayah aja dek!” tolak ayahnya ketika melihat tubuh Jingga
terseret-seret menarik koper. “udah yah, biar aku aja!” kilahnya. Mereka
akhirnya menemukan bangku tunggu kosong dan duduk melepas penat di sana. Tak lama bang Isal datang dan mereka pun
langsung pulang meninggalkan stasiun.
Alhamdulillah ini sudah masuk ke 3 part terakhir dari cerbung lamaran jingga 😂😂 cerbung ini gak dibuat terlalu panjang maupun terlalu pendek karena menjaga mood pembaca juga 😀 semoga bagian antiklimaks ini menghibur yaaa, i love you all my beloved 😘😘 wassalamu'alaikum
Alhamdulillah ini sudah masuk ke 3 part terakhir dari cerbung lamaran jingga 😂😂 cerbung ini gak dibuat terlalu panjang maupun terlalu pendek karena menjaga mood pembaca juga 😀 semoga bagian antiklimaks ini menghibur yaaa, i love you all my beloved 😘😘 wassalamu'alaikum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar